Dari Dian di group WA, SMANSA
TRUE STORY :
🌺 Seorang pria turun dari sebuah mobil mewah yang diparkir di depan kuburan umum. Pria itu berjalan menuju pos penjaga kuburan. Setelah memberi salam, pria yang ternyata adalah sopir itu berkata : “Pak, maukah anda menemui wanita yang ada di mobil itu? Tolonglah Pak, karena para dokter mengatakan sebentar lagi beliau akan meninggal!”
🌺 Penjaga kuburan itu meng-anggukan kepalanya tanda setuju dan ia segera berjalan di belakang sopir itu. Seorang wanita lemah dan berwajah sedih membuka pintu mobilnya dan berusaha tersenyum kepada penjaga kuburan itu sambil berkata : “Saya Ny. Steven yang selama ini mengirim uang setiap dua minggu sekali kepada anda. Saya mengirim uang itu agar anda dapat membeli seikat bunga dan menaruhnya di atas makam anak saya. Saya datang untuk berterima kasih atas kesediaan dan kebaikan hati anda. Saya ingin memanfaatkan sisa hidup saya untuk berterima kasih kepada orang2 yg telah menolong saya.”
🌺 “Oh, jadi Nyonya yg selalu mengirim uang itu? Nyonya, sebelumnya saya minta maaf kepada anda. Memang uang yang Nyonya kirimkan itu selalu saya belikan bunga, tetapi saya tidak pernah menaruh bunga itu dipusara anak anda.” jawab pria itu.
“Apa, maaf?” tanya wanita itu dengan gusar. “Ya, Nyonya. Saya tidak menaruh bunga itu di sana karena menurut saya, orang mati tidak akan pernah melihat keindahan seikat bunga. Karena itu setiap bunga yang saya beli, saya berikan kepada mereka yang ada di rumah sakit, orang miskin yang saya jumpai, atau mereka yang sedang bersedih. Orang-orang yang demikian masih hidup, sehingga mereka dapat menikmati keindahan dan keharuman bunga2 itu, Nyonya” jawab pria itu. Wanita itu terdiam, kemudian ia mengisyaratkan agar sopirnya segera membawanya pergi.
🌺 Tiga bulan kemudian, seorang wanita cantik turun dari mobilnya dan berjalan dengan anggun ke arah pos penjaga kuburan.
“Selamat pagi, apakah anda masih ingat saya? Saya Ny. Steven, saya datang untuk berterima kasih atas nasihat yang anda berikan beberapa bulan yang lalu. Anda benar bahwa memperhatikan dan MEMBAHAGIAKAN mereka yang masih hidup jauh lebih berguna daripada MERATAPI mereka yang sudah meninggal
🌺 Ketika saya secara langsung mengantarkan bunga2 itu ke rumah sakit atau panti jompo, bunga2 itu tidak hanya membuat mereka bahagia, tetapi saya juga turut bahagia. Sampai saati ini para dokter tidak tahu mengapa saya bisa sembuh, tetapi saya benar-benar yakin bahwa sukacita dan pengharapan adalah obat yang memulihkan saya.
🌺 Jangan pernah mengasihani diri sendiri, karena mengasihani diri sendiri akan membuat kita terperangkap di kubangan kesedihan. Ada prinsip yang mungkin kita tahu, tetapi sering kita lupakan, yaitu dengan menolong orang lain sesungguhnya kita sedang menolong diri kita sendiri.
Selamat berusaha menjadi bahagia dgn membahagiakan orang lain.
Semoga jadi Berkat..
Indahnya berbagi..
Selasa, 29 Maret 2016
Enny Hanum: SECANGKIR ILMU PAHAM
Dr Yoga group SMANSA Cepu:
Enny Hanum: SECANGKIR ILMU PAHAM
" Tingkat terbawah dalam ilmu adalah paham. Ini wilayah kejernihan logika berfikir dan kerendahan hati. ilmu tidak membutakannya, malah menjadikannya kaya.
Tingkat ke dua terbawah adalah kurang paham. Orang kurang paham akan terus belajar sampai dia paham. Ia akan terus bertanya untuk mendapatkan simpul2 pemahaman yang benar.
Naik setingkat lagi adalah mereka yang salah paham. Salah paham itu biasanya karena emosi di-kedepankan, sehingga ia tidak sempat berfikir jernih. Dan ketika mereka akhirnya paham, mereka biasanya meminta maaf atas kesalah-pahamnya. Jika tidak, ia akan naik ke tingkat tertinggi dari ilmu.
Nah, tingkat tertinggi dari ilmu itu ialah gagal paham. Gagal paham ini biasanya lebih karena kesombongan. Karena merasa berilmu, ia sudah tidak mau lagi menerima illmu dari orang lain. Ia selalu merasa cukup dengan pendapatnya sendiri. Parahnya, ia tidak menyadari bahwa pemahamannya yang gagal itu menjadi bahan ketawaan orang yang paham. Ia tetap dengan dirinya bangga dengan ke-gagalpahamannya..."
"Kok paham ada di tingkat terbawah dan gagal paham di tingkat yang paing tinggi ? Apa gak terbalik ?"
Temanku tersenyum. Sepertinya ini momen yang menarik baginya.
"Orang semakin paham akan semakin membumi. Ia menjadi bijaksana karena akhirnya ia tahu bahwa sebenarnya ia tidak tahu apa-apa. Ia terus menerima darimana-pun ilmu datangnya. Ia tidak melihat siapa, tetapi apa yg disampaikan. Ia paham, ilmu itu seperti air dan air hanya mengalir ke tempat yang lebih rendah. Semakin ia merendahkan hatinya, semakin tercurah ilmu kepadanya.
Sedangkan gagal paham itu ilmu tingkat tinggi. Ia seperti balon gas yang berada di awan. Ia terbang dengan kesombongannya. Masalahnya, ia tidak mempunyai pijakan yang kuat, sehingga mudah ditiup angin tanpa mampu menolak. Akhirnya ia terbawa kemana2 sampai terlupa jalan pulang. Ia tersesat dengan pemahamannya dan lambat laun akan di-binasakan oleh kesombongannya.."
Ah aku mengerti sekarang...
"Jadi yang perlu diingat, akal akan berfungsi dengan benar ketika hatimu rendah. Ketika hatimu meninggi, maka ilmu juga-lah yang membutakan si pemilik akal.."
Kuangkat secangkir kopi untuk temanku ini. Ternyata disitulah kuncinya.
"Lidah orang bijaksana berada di dalam hatinya, dan hati orang dungu berada di belakang lidahnya.."
"Ilmu itu open ending. Makin digali makin terasa dangkal. Jd klu ada org merasa sdh tau segalanya berarti tidak tau apa2"....🙏🙏
Enny Hanum: SECANGKIR ILMU PAHAM
" Tingkat terbawah dalam ilmu adalah paham. Ini wilayah kejernihan logika berfikir dan kerendahan hati. ilmu tidak membutakannya, malah menjadikannya kaya.
Tingkat ke dua terbawah adalah kurang paham. Orang kurang paham akan terus belajar sampai dia paham. Ia akan terus bertanya untuk mendapatkan simpul2 pemahaman yang benar.
Naik setingkat lagi adalah mereka yang salah paham. Salah paham itu biasanya karena emosi di-kedepankan, sehingga ia tidak sempat berfikir jernih. Dan ketika mereka akhirnya paham, mereka biasanya meminta maaf atas kesalah-pahamnya. Jika tidak, ia akan naik ke tingkat tertinggi dari ilmu.
Nah, tingkat tertinggi dari ilmu itu ialah gagal paham. Gagal paham ini biasanya lebih karena kesombongan. Karena merasa berilmu, ia sudah tidak mau lagi menerima illmu dari orang lain. Ia selalu merasa cukup dengan pendapatnya sendiri. Parahnya, ia tidak menyadari bahwa pemahamannya yang gagal itu menjadi bahan ketawaan orang yang paham. Ia tetap dengan dirinya bangga dengan ke-gagalpahamannya..."
"Kok paham ada di tingkat terbawah dan gagal paham di tingkat yang paing tinggi ? Apa gak terbalik ?"
Temanku tersenyum. Sepertinya ini momen yang menarik baginya.
"Orang semakin paham akan semakin membumi. Ia menjadi bijaksana karena akhirnya ia tahu bahwa sebenarnya ia tidak tahu apa-apa. Ia terus menerima darimana-pun ilmu datangnya. Ia tidak melihat siapa, tetapi apa yg disampaikan. Ia paham, ilmu itu seperti air dan air hanya mengalir ke tempat yang lebih rendah. Semakin ia merendahkan hatinya, semakin tercurah ilmu kepadanya.
Sedangkan gagal paham itu ilmu tingkat tinggi. Ia seperti balon gas yang berada di awan. Ia terbang dengan kesombongannya. Masalahnya, ia tidak mempunyai pijakan yang kuat, sehingga mudah ditiup angin tanpa mampu menolak. Akhirnya ia terbawa kemana2 sampai terlupa jalan pulang. Ia tersesat dengan pemahamannya dan lambat laun akan di-binasakan oleh kesombongannya.."
Ah aku mengerti sekarang...
"Jadi yang perlu diingat, akal akan berfungsi dengan benar ketika hatimu rendah. Ketika hatimu meninggi, maka ilmu juga-lah yang membutakan si pemilik akal.."
Kuangkat secangkir kopi untuk temanku ini. Ternyata disitulah kuncinya.
"Lidah orang bijaksana berada di dalam hatinya, dan hati orang dungu berada di belakang lidahnya.."
"Ilmu itu open ending. Makin digali makin terasa dangkal. Jd klu ada org merasa sdh tau segalanya berarti tidak tau apa2"....🙏🙏
Rabu, 02 Maret 2016
Cinta
Jika engkau dalam kecemasan, hanya kedirian cinta dan kesenangannya yang engkau cari, maka lebih baiklah bagmu menutupi tubuh. Lalu menyingkir dari papan penempaan, memasuki dunia tanpa musim, di mana engkau dapat tertawa, namun tidak sepenuhnya. Tempat engkau pun dapat menangis, namun tidak sehabis air mata
-khalil gibran
-khalil gibran
Selasa, 01 Maret 2016
Kisah Aji Saka
Karya klasik berbentuk puisi tembang macapat, dan berbahasa Jawa Baru. Isi teks tentang cerita mitos yang dimulai dengan kedatangan Aji Saka dari Arab ( bumi Majeti )ke Tanah Jawa atau Medhang Kamulan. Diceritakan pula tentang kematian Prabu Dewatacengkar oleh Aji Saka yang kemudian menggantikannya sebagai raja di Medhang Kamulan dengan gelar Prabu Jaka. Cerita ini diakhiri dengan peperangan antara para Adipati Brang Wetan (pesisir timur) melawan Prabu Banjaransari di Kerajaan Galuh.Aji Saka dalam perjalanannya ke Medhang Kamulan singgah di rumah seorang janda bernama Sengkeran. Ditempat inilah banyak orang yang berguru kepada Aji Saka. Raja Medhang Kamulan, Prabu Dewatacengkar, senang sekali melihat banyak orang ditempat tersebut kesukaannya memakan daging manusia. Oleh karena itu orang-orang menjadi takut.Aji Saka menawarkan dirinya lewat Patih Trenggana agar dihadapkan sebagai santapannya. Ia mengajukan persyaratan meminta tanah seluas ikat kepala yang dimilikinya untuk dibentangkan di tanah tersebut.
Raja Dewatacengkar menyanggupinya sehingga ikat kepala yang dibentangkan tadi memenuhi wilayah Medhang Kamulan. Dewatacengkar terdesak dan akhirnya sampai di pantai selatan hingga tercebur dalam samudera dan berubah wujud menjadi buaya putih. Selanjutnya Aji Saka kembali ke Medhang Kamulan dan menggantikan kedudukannya sebagai raja dengan gelar prabu Jaka atau Prabu Anom Aji Saka. Sepeninggal Dewatacengkar kerajaan Medhang Kamulan menjadi aman tenteram dan damai kekuasaan Aji Saka. Ia dapat membuat manusia dengan tanah dan menciptakan aksara Jawa yang disebut Dhentawyanjana. Diceritakan pula mengenai naga Nginglung yang mengaku dirinya sebagai putra prabu Jaka. Ia disuruh untuk membunuh buaya putih di samudera yang merupakan penjelmaan Dewatacengkar. Naga tersebut dapat membunuh buaya putih sehingga diakui sebagai putranya dan diberi nama Tunggul Wulung.
Raden Daniswara di Panungkulan bermaksud ingin merebut Kerajaan Medhang. Ia disarankan oleh Hyang Sendhula agar meminta bantuan kepada ratu Kidul yang bernama Ratu Angin-Angin. Ia kemudian dapat menjadi raja di tanah Jawa dengan sebutan Raja Daniswara atau Srimapunggung. Ki Jugulmudha dijadikan patih dengan gelar Adipati Jugulmudha. Langkah selanjutnya adalah ingin menaklukan pesisir mencanegara. Setelah selesai tugasnya ia kembali ke Panungkulan dan selanjutnya berniat menaklukan Medhang. Akhirnya Aji Saka moksa bersama dengan kerajaannya sedangkan Medhang dibawah kekuasaan Srimapunggung. Setelah Srimapunggung moksa kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Sri Kandhihuwan. Setelah Sri Kandhihuwan moksa kemudian digantikan oleh prabu Kelapagadhing. Selanjutnya kekuasaan secara berturut-turut digantikan oleh : (1) Prabu Andhong, (2) Sri Andhongwilis, (3) Prabu Banakeling, (4) Sri Banagaluh, (5) Sri Awulangit, (6) Ratu Tunggul, (7) Selaraja, (8) Mundhingwangi, (9) Mundhigsari, (10) Jajalsengara, (11) Gilingwesi, (12) Sri Prawatasari, (13) Wanasantun, (14) Sanasewu, (15) Raja Tanduran, (16) Rama Jayarata, (17) Raja Ketangga, (18) Raja Umbulsantuin, (19) Raja Padhangling, (20) Ratu Prambanan, (21) Resi Getayu, (22) Lembu Amiluhur, (23) Raden Laleyan, dan (24) Raden Banjaransari). Pusat kerajaan di Medhang Pangremesan atau Jenggala.
Pada saat pemerintahan Raden Banjaransari, ia mendapatkan wangsit dari dewa Sang Hyang Narada agar meninggalkan kerajaan untuk pergi ke arah barat yang akhirnya sampai di Gua Terusan untuk bertapa. Ditempat inilah ia dapat bertemu dengan kakeknya, Sang Hyang Sindula, yang akhirnya dapat menjadi raja di Kerajaan Galuh. Disebutkan pula mengenai peperangan antara para Adipati Brang Wetan melawan Prabu Banjarsari di Kerajaan Galuh.
Cerita Ajisaka tersebut diatas ada yang mengartikan perlambang atau bermakna sebagai berikut :
1. Ajisaka
Aji = Raja ( pegangan raja )
Saka = Pilar
2. Majeti
Ma = Diterima ( keterima )
Jet = Grenjet ( bijaksana )
Ti = Pangesti ( doa khusuk )
Artinya : Doa orang yang bijak, yang melakukan dengan khusuk akan diterima.
3. Medang Kamolan
Kamolan = Mula = tempat asal muasal kehidupan
Beberapa resensi tentang Ajisaka terdapat pada serat Jatiswara dan Serat Centhini yang memuat sebuah episode mengenai nama Ajisaka ( Raja Jawa Pertama ) pada abad ke. 17.
Ngasah paluning bangsa
Isih tungkul padhadene
Ngalung anduk bebasane
Oglak aglik gegondhele
Maling alok maling
Osoring ketara
Sapa wani arumangsa?
KELAHIRAN HA-NA-CA-RA-KA
Secara garis besar, ada dua konsepsi tentang kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Dua konsepsi itu masing-masing mempunyai dasar pandang yang berbeda. Konsepsi yang pertama berdasarkan pandang pada pemikiran tradisional, dari cerita mulut ke mulut sehingga disebut konsepsi secara tradisional. Konsepsi yang kedua berdasar pandang pada pemikiran ilmiah sehingga disebut konsepsi secara ilmiah.
Konsepsi secara tradisional.
Konsepsi secara tradisional mendasarkan pada anggapan bahwa kelahiran ha-na-ca-ra-ka berkaitan erat dengan legenda Aji Saka. Legenda itu tersebar dari mulut ke mulut yang kemudian didokumentasikan secara tertulis dalam bentuk cerita. Cerita itu ada yang masih berbentuk manuskrip dan ada yang sudah dicetak. Cerita yang masih berbentuk manuskrip, misalnya Serat Momana, Serat Aji Saka, Babad Aji Saka dan Tahun Saka lan Aksara Jawa. Cerita yang sudah dicetak misalnya Kutipan Serat Aji Saka dalam Punika Pepetikan saking Serat Djawi ingkang Tanpa Sekar ( Kats 1939 ) Lajang Hanatjaraka ( Dharmabrata 1949 dan Manikmaya ( Panambangan 1981 )
Dalam manuskrip Serat Aji Saka ( Anonim ) dan kutipan Serat Aji Saka ( Kats 1939 ) misalnya diceritakan bahwa Sembada dan Dora ditinggalkan di Pulau Majeti oleh Aji Saka untuk menjaga keris pusaka dan sejumlah perhiasan. Mereka dipesan agar tidak menyerahkan barang-barang itu kepada orang lain, kecuali Aji Saka sendiri yang mengambilnya. Aji Saka tiba di Medangkamulan, lalu bertahta di negeri itu. Kemudian negari itu termasyhur sampai dimana-mana. Kabar kemasyhuran Medangkamulan terdengar oleh Dora sehingga tanpa sepengatahuan Sembada ia pergi ke Medangkamulan. Di hadapan Aji Saka, Dora melaporkan bahwa Sembada tidak mau ikut, Dora lalu dititahkan untuk menjemput Sembada. Jika Sembada tidak mau, keris dan perhiasan yang ditinggalkan agar dibawa ke Medangkamulan. Namun Sembada bersikukuh menolak ajakan Dora dan memperhatankan barang-barang yang diamanatkan Aji Saka.
Akibatnya, terjadilah perkelahian antara keduanya, oleh karena seimbang kesaktiannya meraka mati bersama. Ketika mendapatkan kematian Sembada dan Dora dari Duga dan Prayoga yang diutus ke Majeti, Aji Saka menyadari atas kekhilafannya. Sehubungan dengan itu, ia menciptakan sastra dua puluh yang dalam Manikmaya, Serat Aji Saka dan Serat Momana disebut sastra sarimbangan. Sastra Sarimbangan itu terdiri atas empat warga yang masing-masing mencakupi lima sastra, yakni :
1. Ha-na-ca-ra-ka 2. Da-ta-sa-wa-la
3. Pa-dha-ja-ya-nya 4. Ma-ga-ba-tha-nga
Sastra Sarimbangan itu, antara lain terdapat dalam manuskrip Serat Aji Saka, pupuh VII- Dhandhanggula bait 26 dan 27 sebagai berikut :
Dora goroh ture werdineki Dora bohong ucapannya yakin
Sembada temen tuhu perentah Sembada jujur patuh perintah
Sun kabranang nepsu ture Ku emosi marah ucapannya
Cidra si Dora iku Ingkar si Dora itu
Nulya Prabu Jaka angganggit Lalu Prabu Jaka Menganggit
Anggit pinurwa warna Anggit dibuat macam
Sastra kalih puluh Sastra dua puluh
Kinarya warga lelima Dibuat warga lelima
Wit Ha-na-ca-ra-ka sak warganeki Dari Ha-na-ca-ra-ka itu sewarganya
Pindho Da-ta-sa-wala Dua Da-ta-sa-wala
Yeku sawarga ping tiganeki Yaitu sewarga ketiganya
Pa-dha-ja-ya-nya ku suwarganya Pa-dha-ja-ya-nya sewargane
Ma-ga-ba-tha-nga ping pate Ma-ga-ba-tha-nga keempatnya
Iku sawarganipun itulah sewarganya
Anglelima sawarganeki Lima-lima satu warganya
Ran sastra sarimbangan Nama sastra sarimbangan
Iku milanipun Itulah sebabnya
Awit ana sastra Jawa Mulai ada hufur Jawa
Wit sinungan sandhangan sawiji-wiji Mulai diberi harakat satu per satu
Weneh-weneh ungelnya Macam-macam lafalnya
Teks diatas mirip teks yang terdapat dalam Manikmaya jilid II (Panambangan 1981 : 385) kemudian untuk memberikan kesan yang menarik lagi bagi anak-anak yang sedang belajar aksara ha-na-ca-ra-ka, dalam Lajang Hanatkaraka jilid I dan II ( Dharmabrata, 1948:10-11 : 1949:65-66 ) dihiasi dengan gambar kisah Dora dan Sembada. Hiasan yang menggambarkan kisah kedua tokoh itu menandai lahirnya ha-na-ca-ra-ka.
Tidak dapat dipungkiri bahwa legenda Aji Saka hingga beberapa generasi mengilhami dan bahkan mengakar dalam alam pikiran masyarakat Jawa. Dikatakan oleh Suryadi ( 1995 : 74-75 ) bahwa mitologi Aji Saka masih mengisi alam pikiran abstraksi generasi muda etnik Jawa yang kini berusia tiga puluh tahun keatas. Fakta pemikiran tersebut menjadi bagian dari kerangka refleksi ketika mereka menjawab perihal asal-usul huruf Jawa yang berjumlah dua puluh.
Selain Aji Saka sebagai tokoh fiktif, nama kerajaannya yakni Medangkulan masih merupakan misteri karena secara historik sulit dibuktikan. Ketidakterikatan itu sering menimbulkan praduga dan persepsi yang bermacam-macam. Misalnya praduga yang muncul dari Daldjoeni ( 1984 : 147-148 ) yang kemudian diacu oleh Suryadi ( 1995 : 79 ) bahwa kerajaan Medangkamulan berlokasi di Blora, sezaman dengan kerajaan Prabu Baka di ( sebelah selatan ) Prambanan, yakni sekitar abad IX. Berdasarkan praduga itu, aksara Jawa ( ha-na-ca-ra-ka ) diciptakan pada sekitar abad tersebut.
Praduga Daldjoeni tentang lokasi Medangkamulan memang sesuai dengan keterangan dalam sebuah teks lontar ( Brandes, 1889a : 382-383 ) bahwa Medangkamulan terletak di sebelah timur Demak, seperti berikut :
Mangka wonten ratu saking bumi tulen, arane Prabu Kacihawas. Punika wiwitaning ratu tulen mangka jumeneng ing lurah Medangkamulan, sawetaning Demak, sakiduling warung.
Demikianlah ada raja dari tanah tulen, namanya Prabu Kacihawas. Itulah permulaan raja tulen ketika bertahta di lembah Medangkamulan, sebelah timur Demak sebelah selatan warung.
Akan tetapi , penanda tahun kelahiran ha-na-ca-ra-ka diatas berbeda dengan yang terdapat dalam Serat Momana. Dalam Serat Momana disebutkan bahwa ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Aji Saka yang bergelar Prabu Girimurti pada tahun ( saka ) 1003 ( Subalidata 1994 : 3 ) atau tahun 1081 Masehi. Tahun 1003 itu dekat dengan tahun bertahtanya Aji Saka di Medangkamulan, yakni tahun 1002 yang disebutkan dalam The History of Java jilid II ( Raffles 1982 : 80 ) pada halaman yang sama dalam The History of Java itu disebutkan pula bahwa Prabu Baka bertahta di Brambanan antara tahun 900 dan 902, yakni seratus tahun sebelum Aji saka bertahta.
Sementara itu, dalam Manikmaya ( salinan Panambangan, 1981 : 295 ) disebutkan bahwa Aji Saka – dengan sebutan Abu Saka mengembara ke tanah Arab. Di negeri itu ia bersahabat dengan Nabi Muhammad ( yang hidup pada akhir abad VI – pertengahan abad VII ). Setelah pergi ke pulau Jawa, dengan sebutan Aji Saka akbibat berselisih paham dengan Nabi Muhammad ( Graff 1989 : 9 ) ia menciptakan aksara ha-na-ca-ra-ka. Penciptaan aksara itu diperkirakan pada sekitar abad VII ( sesuai dengan masa kehidupan Nabi Muhammad ) karena di dalam teks tidak disebutkan secara eksplisit.
Warsito ( dalam Ciptoprawiro, 1991 : 46 ) dalam telaah Serat Sastra Gendhing berpendanpat bahwa syair ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Jnanbhadra atau Semar. Dengan demkian, saat kelahiran ha-na-ca-ra-ka sulit ditentukan karena Semar merupakan tokoh fiktif dalam pewayangan.
Pendapat lain dikemukan oleh Hadi Soetrisno ( 1941 ). Dalam bukunya yang berjudul Serat Sastra Hendra Prawata dikemukan bahwa aksara Jawa diciptakan oleh Sang Hyang Nur Cahya yang bertahta di negeri Dewani, wilayah jajahan Arab yang juga menguasai tanah Jawa. Sang Hyang Nur Cahya adalah putra Sang Hyang Sita atau Kanjeng Nabi Sis ( Hadi Soetrisno, 1941 : 6 ). Disamping aksara Jawa, Sang Hyang Nur Cahya juga menciptakan aksara Latin, Arab, Cina dan aksara-aksara yang lain. Seluruh aksara itu disebut Sastra Hendra Prawata ( Hadi Soetrisno, 1941 : 3 – 6 )
Di kemukakan pula bahwa berdasarkan bentuknya, aksara Jawa merupakan tiruan dari aksara Arab, mula-mula aksara itu berupa goresan-goresan yang mendekati bentuk persegi atau lonjong, lalu makin lama makin berkembang hingga terbentuklah aksara yang ada sekarang ( Hadi Soetrisno 1941 : 10 ). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Aji Saka yang dianggap sebagai pencipta aksara Jawa itu sebenarnya bukan penciptanya, melainkan sebagai pembangun dan penyempurna aksara tersebut sehingga terciptalah bentuk aksara dan susunan atau carakan ( ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya ) seperti sekarang ini ( Hadi Soetrisno, 1941 : 7 ). Terciptanya bentuk aksara dan carakan itu melibatkan kedua abdinya, Dora dan Sembada yang menemui ajalnya secara tragis.
Selian yang telah diuraikan di atas, ada dugaan bahwa kisah tragis Dora dan Sembada dalam legenda Aji Saka merupakan simbol perang saudara untuk memperebutkan tahta Majapahit. Perebutan ia mengakibatkan hancurnya kedua belah pihak, menjadi bangkai dengan ungkapan ma-ga-ba-tha-nga. Tentu saja kisah simbolik yang melahirkan aksara ha-na-ca-ra-ka itu muncul setelah hancurnya kerajaan Majapahit, antara abad XVI dan XVII ( Atmodjo, 1994 : 26 )
Dugaan lain adalah bahwa peristiwa tragis yang menimpa Dora dan Sembada merupakan simbol gerakan milenarianisme, yakni gerakan yang mengharapkan datangnya pembebasan atau ratu adil, dengan ungkapan ha-na-ca-ra-ka ( Atmojo, 1994 : 26 ). Namun kapan datangnya pembebasan dan siapa yang dimaksud dengan ratu adil, apakah Raden Patah yang berhasil naik tahta setelah Majapahit runtuh atau Sutawijaya yang mampu menyelamatkan negeri ( Pajang ) dari rongrongan Arya Penangsang ataukah tokoh lain, masih merupakan tanda tanya yang sulit untuk memperoleh jawaban secara ilmiah atau nalar.
Praduga-praduga di atas mencerminkan keragaman pendapat, keragaman itu sulit dapat timbul dari persepsi yang berbeda-beda sehingga sulit untuk menentukan persamaan waktu atas kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Kesulitan itu dapat disebabkan oleh sifat legenda yang fiktif sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan antara sumber yang satu dan sumber yang lain, sesuai dengan kehendak pengarang atau penulis masing-masing. Perbedaan praduga pertama ( Daldjoeni ) dengan praduga kedua ( dalam Serat Momana ) dan praduga ketiga ( dalam The History of Java ) misalnya terletakpada selisih waktu dua abad, sedangkan praduga kedua dengan praduga ketiga hanya mempunyai selisih satu tahun. Perbedaaan ketiga praduga tersebut akan lebih beragam jika menyertakan perkiraan hidup Aji Saka dalam Manikmaya, pendapat Warsito dan Hadi Soetrisno serta kisah-kisah simbolik di atas. Selain itu masih terbuka kemungkinan yang dapat menimbulkan perbedaan yang berasal dari teks-teks lain yang belum sempat diungkapkan di sini, termasuk misteri pencipta aksara tersebut.
Konsepsi secara Ilmiah
Kelahiran pada perkembangan aksara Jawa erat hubungannya dengan kelahiran dan perkembangan bahasa Jawa. Secara alami, mula-mula bahasa Jawa lahir sebagai alat komunikasi lisan pemakainya. Bahasa Jawa yang dilisankan itu, seperti bahasa ragam lisan pada umumnya, terikat oleh waktu dan tempat ( lihat Molen, 1985 : 3 ) untuk melepaskan diri dari keterikatannya, sesuai dengan pola pikir pemakainya dan sejalan dengan tantangan zaman akibat pengaruh lingkungan serta perkembangan ilmu dan teknologi, sarana yang nyata dan kekal, berupa aksara diciptakan. Aksara yang dipakai etnik Jawa muncul pertama kali setelah orang-orang India datang ke pulau Jawa. Diperkirakan bahwa sebelum itu etnik Jawa belum mempunyai aksara ( Poerbatjaraka, 1952 : vii ) sehingga masih berlaku tradisi kelisanan. Dengan munculnya aksara, mulailah tradisi keberaksaraan untuk menciptakan bahasa ragam tulis, meskipun tradisi kelisanan tetap berlangsung.
Hasil teknologi baru yang berupa tulisan memang memainkan peranan yangamat penting dalam sejarah manusia, dalam kehidupan sehari-hari di bidang ilmu pengetahuan, politik dan sebagainya. Ada perbedaan mendasar antara peradaban yang tanpa tulisan dan peradaban yang mempunyai tulisan ( Molen, 1985 : 3 ) peradaban yang mempunyai tulisan setidaknya mempunyai kelebihan setingkat lebih maju daridapa peradaban tanpa tulisan.
Dalam sejarah peradaban etnik Jawa, atas dasar data arkeologis, tulisan tertua yang ditemukan dalam bentuk prasasti dengan menggunakan aksara Pallawa menunjukkan penanda waktu sebelum tahun 700 Masehi ( Casparis, 1975 : 29 ) jauh sesudah bahasa Jawa yang tertua dugunakan secara lisan. Setelah ditemukan beberapa prasasti yang lain, secara berangsur-angsur dilakukan studi paleografi. Dari beberapa prasasti yang dijadikan bahan studi, diperoleh hasil deskripsi yang menggembirakan ( lihat Molen 1985 : 4 ). Namun hingga kini masih sedikit jumlah karya tulis yang membicarakan paleografi Jawa. Karya tulis tentang paleografi Jawa baru dimulai pada awal abad XIX, seperti yang dilakukan oleh Raffles ( 1871 ) Stuart ( 1863 ) dan Keyzer ( 1863 ). Hanya sayang bahwa contoh aksara yang ditampilkan menurut Stuart ( 1864 : 169 – 173 ) lihat Molen, 1985 : 4 ) bukan jiplakan yang asli, melainkan aksara Jawa baru yang dituliskan dengan bentuk dan gaya aksara Jawa kuna, contohnya : dibawah ini dikutipkan dari The History of Java Jilid I, karya Raffles ( 1982 : 370 )
Ada juga Ajaran filsafat hidup berdasarkan aksara Jawa yang sebagai berikut :
Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada ” utusan ” yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai ciptaan )
Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data ” saatnya ( dipanggil ) ” tidak boleh sawala ” mengelak ” manusia ( dengan segala atributnya ) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan
Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi hidup ( makhluk ). Maksudnya padha ” sama ” atau sesuai, jumbuh, cocok ” tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu ” menang, unggul ” sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan ” sekedar menang ” atau menang tidak sportif.
Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.
Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka Paku Buwana IX
Filsafat ha-na-ca-ka-ra yang diungkapan Paku Buwana IX dikutip oleh Yasadipura sebagai bahan sarasehan yang diselenggarakan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta pada tanggal, 13 Juli 1992. Judul makalah yang dibawakan Yasadipura adalah ” Basa Jawi Hing Tembe Wingking Sarta Haksara Jawi kang Mawa Tuntunan Panggalih Dalem Hingkang Sinuhun Paku Buwana IX Hing Karaton Surakarta Hadiningrat “. Dalam makalah itu dikemukakan oleh Yasadipura ( 1992 : 9 – 10 ) bahwa Paku Buwana IX memberikan ajaran ( filsafat hidup ) berdasarkan aksara ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya, yang dimulai dengan tembang kinanthi, sebagai berikut.
Nora kurang wulang wuruk tak kurang piwulang dan ajaran
Tumrape wong tanah Jawi bagi orang tanah Jawa
Laku-lakune ngagesang perilaku dalam kehidupan
Lamun gelem anglakoni jika mau menjalaninya
Tegese aksara Jawa maknanya aksara Jawa
Iku guru kang sejati itu guru yang sejati
Ha Na Ca Ra Ka
MAKNA HURUF
Ha
Hana hurip wening suci – adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci
Hana hurip wening suci – adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci
Na
Nur candra,gaib candra,warsitaning candara-pengharapan manusia hanya selalu ke sinar Illahi
Nur candra,gaib candra,warsitaning candara-pengharapan manusia hanya selalu ke sinar Illahi
Ca
Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi-satu arah dan tujuan pada Yang Maha Tunggal
Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi-satu arah dan tujuan pada Yang Maha Tunggal
Ra
Rasaingsun handulusih – rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani
Rasaingsun handulusih – rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani
Ka
Karsaningsun memayuhayuning bawana – hasrat diarahkan untuk kesajetraan alam
Da
Dumadining dzat kang tanpa winangenan – menerima hidup apa adanya
Karsaningsun memayuhayuning bawana – hasrat diarahkan untuk kesajetraan alam
Da
Dumadining dzat kang tanpa winangenan – menerima hidup apa adanya
Ta
Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa – mendasar ,totalitas,satu visi, ketelitian dalam memandang hidup
Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa – mendasar ,totalitas,satu visi, ketelitian dalam memandang hidup
Sa
Sifat ingsun handulu sifatullah- membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan
Sifat ingsun handulu sifatullah- membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan
Wa
Wujud hana tan kena kinira – ilmu manusia hanya terbatas namun implikasinya bisa tanpa batas
Wujud hana tan kena kinira – ilmu manusia hanya terbatas namun implikasinya bisa tanpa batas
La
Lir handaya paseban jati – mengalirkan hidup semata pada tuntunan Illahi
Lir handaya paseban jati – mengalirkan hidup semata pada tuntunan Illahi
Pa
Papan kang tanpa kiblat – Hakekat Allah yang ada disegala arah
Papan kang tanpa kiblat – Hakekat Allah yang ada disegala arah
Dha
Dhuwur wekasane endek wiwitane – Untuk bisa diatas tentu dimulai dari dasar
Dhuwur wekasane endek wiwitane – Untuk bisa diatas tentu dimulai dari dasar
Ja
Jumbuhing kawula lan Gusti -selalu berusaha menyatu -memahami kehendak Nya
Jumbuhing kawula lan Gusti -selalu berusaha menyatu -memahami kehendak Nya
Ya
Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi – yakin atas titah /kodrat Illahi
Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi – yakin atas titah /kodrat Illahi
Nya
Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki – memahami kodrat kehidupan
Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki – memahami kodrat kehidupan
Ma
Madep mantep manembah mring Ilahi – yakin – mantap dalam menyembah Ilahi
Madep mantep manembah mring Ilahi – yakin – mantap dalam menyembah Ilahi
Ga
Guru sejati sing muruki – belajar pada guru nurani
Guru sejati sing muruki – belajar pada guru nurani
Ba
Bayu sejati kang andalani – menyelaraskan diri pada gerak alam
Bayu sejati kang andalani – menyelaraskan diri pada gerak alam
Tha
Tukul saka niat – sesuatu harus dimulai – tumbuh dari niatan
Tukul saka niat – sesuatu harus dimulai – tumbuh dari niatan
Nga
Ngracut busananing manungso – melepaskan egoisme pribadi -manusia
Ngracut busananing manungso – melepaskan egoisme pribadi -manusia
KELAHIRAN HA-NA-CA-RA-KA
Secara garis besar, ada dua konsepsi tentang kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Dua konsepsi itu masing-masing mempunyai dasar pandang yang berbeda. Konsepsi yang pertama berdasarkan pandang pada pemikiran tradisional, dari cerita mulut ke mulut sehingga disebut konsepsi secara tradisional. Konsepsi yang kedua berdasar pandang pada pemikiran ilmiah sehingga disebut konsepsi secara ilmiah.
Konsepsi secara tradisional.
Konsepsi secara tradisional mendasarkan pada anggapan bahwa kelahiran ha-na-ca-ra-ka berkaitan erat dengan legenda Aji Saka. Legenda itu tersebar dari mulut ke mulut yang kemudian didokumentasikan secara tertulis dalam bentuk cerita. Cerita itu ada yang masih berbentuk manuskrip dan ada yang sudah dicetak. Cerita yang masih berbentuk manuskrip, misalnya Serat Momana, Serat Aji Saka, Babad Aji Saka dan Tahun Saka lan Aksara Jawa. Cerita yang sudah dicetak misalnya Kutipan Serat Aji Saka dalam Punika Pepetikan saking Serat Djawi ingkang Tanpa Sekar ( Kats 1939 ) Lajang Hanatjaraka ( Dharmabrata 1949 dan Manikmaya ( Panambangan 1981 )
Dalam manuskrip Serat Aji Saka ( Anonim ) dan kutipan Serat Aji Saka ( Kats 1939 ) misalnya diceritakan bahwa Sembada dan Dora ditinggalkan di Pulau Majeti oleh Aji Saka untuk menjaga keris pusaka dan sejumlah perhiasan. Mereka dipesan agar tidak menyerahkan barang-barang itu kepada orang lain, kecuali Aji Saka sendiri yang mengambilnya. Aji Saka tiba di Medangkamulan, lalu bertahta di negeri itu. Kemudian negari itu termasyhur sampai dimana-mana. Kabar kemasyhuran Medangkamulan terdengar oleh Dora sehingga tanpa sepengatahuan Sembada ia pergi ke Medangkamulan. Di hadapan Aji Saka, Dora melaporkan bahwa Sembada tidak mau ikut, Dora lalu dititahkan untuk menjemput Sembada. Jika Sembada tidak mau, keris dan perhiasan yang ditinggalkan agar dibawa ke Medangkamulan. Namun Sembada bersikukuh menolak ajakan Dora dan memperhatankan barang-barang yang diamanatkan Aji Saka.
Akibatnya, terjadilah perkelahian antara keduanya, oleh karena seimbang kesaktiannya meraka mati bersama. Ketika mendapatkan kematian Sembada dan Dora dari Duga dan Prayoga yang diutus ke Majeti, Aji Saka menyadari atas kekhilafannya. Sehubungan dengan itu, ia menciptakan sastra dua puluh yang dalam Manikmaya, Serat Aji Saka dan Serat Momana disebut sastra sarimbangan. Sastra Sarimbangan itu terdiri atas empat warga yang masing-masing mencakupi lima sastra, yakni :
1. Ha-na-ca-ra-ka
2. Da-ta-sa-wa-la
3. Pa-dha-ja-ya-nya
4. Ma-ga-ba-tha-nga
2. Da-ta-sa-wa-la
3. Pa-dha-ja-ya-nya
4. Ma-ga-ba-tha-nga
Sastra Sarimbangan itu, antara lain terdapat dalam manuskrip Serat Aji Saka, pupuh VII- Dhandhanggula bait 26 dan 27 sebagai berikut :
Dora goroh ture werdineki
(Dora bohong ucapannya yakin)
Sembada temen tuhu perentah
(Sembada jujur patuh perintah)
Sun kabranang nepsu ture
(Ku emosi marah ucapannya)
Cidra si Dora iku
(Ingkar si Dora itu)
Nulya Prabu Jaka angganggit
(Lalu Prabu Jaka Menganggit)
Anggit pinurwa warna
(Anggit dibuat macam)
Sastra kalih puluh
(Sastra dua puluh)
Kinarya warga lelima
(Dibuat warga lelima)
Wit Ha-na-ca-ra-ka sak warganeki
(Dari Ha-na-ca-ra-ka itu sewarganya)
Pindho Da-ta-sa-wala
(Dua Da-ta-sa-wala)
Yeku sawarga ping tiganeki
(Yaitu sewarga ketiganya)
Pa-dha-ja-ya-nya ku suwarganya
(Pa-dha-ja-ya-nya sewargane)
Ma-ga-ba-tha-nga ping pate
(Ma-ga-ba-tha-nga keempatnya)
Iku sawarganipun
(itulah sewarganya)
Anglelima sawarganeki
(Lima-lima satu warganya)
Ran sastra sarimbangan
(Nama sastra sarimbangan)
Iku milanipun
(Itulah sebabnya)
Awit ana sastra Jawa
(Mulai ada huruf Jawa)
Wit sinungan sandhangan sawiji-wiji
(Mulai diberi harakat satu per satu)
Weneh-weneh ungelnya
(Macam-macam lafalnya)
(Dora bohong ucapannya yakin)
Sembada temen tuhu perentah
(Sembada jujur patuh perintah)
Sun kabranang nepsu ture
(Ku emosi marah ucapannya)
Cidra si Dora iku
(Ingkar si Dora itu)
Nulya Prabu Jaka angganggit
(Lalu Prabu Jaka Menganggit)
Anggit pinurwa warna
(Anggit dibuat macam)
Sastra kalih puluh
(Sastra dua puluh)
Kinarya warga lelima
(Dibuat warga lelima)
Wit Ha-na-ca-ra-ka sak warganeki
(Dari Ha-na-ca-ra-ka itu sewarganya)
Pindho Da-ta-sa-wala
(Dua Da-ta-sa-wala)
Yeku sawarga ping tiganeki
(Yaitu sewarga ketiganya)
Pa-dha-ja-ya-nya ku suwarganya
(Pa-dha-ja-ya-nya sewargane)
Ma-ga-ba-tha-nga ping pate
(Ma-ga-ba-tha-nga keempatnya)
Iku sawarganipun
(itulah sewarganya)
Anglelima sawarganeki
(Lima-lima satu warganya)
Ran sastra sarimbangan
(Nama sastra sarimbangan)
Iku milanipun
(Itulah sebabnya)
Awit ana sastra Jawa
(Mulai ada huruf Jawa)
Wit sinungan sandhangan sawiji-wiji
(Mulai diberi harakat satu per satu)
Weneh-weneh ungelnya
(Macam-macam lafalnya)
Teks diatas mirip teks yang terdapat dalam Manikmaya jilid II (Panambangan 1981 : 385) kemudian untuk memberikan kesan yang menarik lagi bagi anak-anak yang sedang belajar aksara ha-na-ca-ra-ka, dalam Lajang Hanatkaraka jilid I dan II ( Dharmabrata, 1948:10-11 : 1949:65-66 ) dihiasi dengan gambar kisah Dora dan Sembada. Hiasan yang menggambarkan kisah kedua tokoh itu menandai lahirnya ha-na-ca-ra-ka.
Tidak dapat dipungkiri bahwa legenda Aji Saka hingga beberapa generasi mengilhami dan bahkan mengakar dalam alam pikiran masyarakat Jawa. Dikatakan oleh Suryadi ( 1995 : 74-75 ) bahwa mitologi Aji Saka masih mengisi alam pikiran abstraksi generasi muda etnik Jawa yang kini berusia tiga puluh tahun keatas. Fakta pemikiran tersebut menjadi bagian dari kerangka refleksi ketika mereka menjawab perihal asal-usul huruf Jawa yang berjumlah dua puluh.
Selain Aji Saka sebagai tokoh fiktif, nama kerajaannya yakni Medangkulan masih merupakan misteri karena secara historik sulit dibuktikan. Ketidakterikatan itu sering menimbulkan praduga dan persepsi yang bermacam-macam. Misalnya praduga yang muncul dari Daldjoeni ( 1984 : 147-148 ) yang kemudian diacu oleh Suryadi ( 1995 : 79 ) bahwa kerajaan Medangkamulan berlokasi di Blora, sezaman dengan kerajaan Prabu Baka di ( sebelah selatan ) Prambanan, yakni sekitar abad IX. Berdasarkan praduga itu, aksara Jawa ( ha-na-ca-ra-ka ) diciptakan pada sekitar abad tersebut.
Praduga Daldjoeni tentang lokasi Medangkamulan memang sesuai dengan keterangan dalam sebuah teks lontar ( Brandes, 1889a : 382-383 ) bahwa Medangkamulan terletak di sebelah timur Demak, seperti berikut :
Mangka wonten ratu saking bumi tulen, arane Prabu Kacihawas. Punika wiwitaning ratu tulen mangka jumeneng ing lurah Medangkamulan, sawetaning Demak, sakiduling warung.
Demikianlah ada raja dari tanah tulen, namanya Prabu Kacihawas. Itulah permulaan raja tulen ketika bertahta di lembah Medangkamulan, sebelah timur Demak sebelah selatan warung.
Akan tetapi , penanda tahun kelahiran ha-na-ca-ra-ka diatas berbeda dengan yang terdapat dalam Serat Momana. Dalam Serat Momana disebutkan bahwa ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Aji Saka yang bergelar Prabu Girimurti pada tahun ( saka ) 1003 ( Subalidata 1994 : 3 ) atau tahun 1081 Masehi. Tahun 1003 itu dekat dengan tahun bertahtanya Aji Saka di Medangkamulan, yakni tahun 1002 yang disebutkan dalam The History of Java jilid II ( Raffles 1982 : 80 ) pada halaman yang sama dalam The History of Java itu disebutkan pula bahwa Prabu Baka bertahta di Brambanan antara tahun 900 dan 902, yakni seratus tahun sebelum Aji saka bertahta.
Sementara itu, dalam Manikmaya ( salinan Panambangan, 1981 : 295 ) disebutkan bahwa Aji Saka – dengan sebutan Abu Saka mengembara ke tanah Arab. Di negeri itu ia bersahabat dengan Nabi Muhammad ( yang hidup pada akhir abad VI – pertengahan abad VII ). Setelah pergi ke pulau Jawa, dengan sebutan Aji Saka akbibat berselisih paham dengan Nabi Muhammad ( Graff 1989 : 9 ) ia menciptakan aksara ha-na-ca-ra-ka. Penciptaan aksara itu diperkirakan pada sekitar abad VII ( sesuai dengan masa kehidupan Nabi Muhammad ) karena di dalam teks tidak disebutkan secara eksplisit.
Warsito ( dalam Ciptoprawiro, 1991 : 46 ) dalam telaah Serat Sastra Gendhing berpendanpat bahwa syair ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Jnanbhadra atau Semar. Dengan demkian, saat kelahiran ha-na-ca-ra-ka sulit ditentukan karena Semar merupakan tokoh fiktif dalam pewayangan.
Pendapat lain dikemukan oleh Hadi Soetrisno ( 1941 ). Dalam bukunya yang berjudul Serat Sastra Hendra Prawata dikemukan bahwa aksara Jawa diciptakan oleh Sang Hyang Nur Cahya yang bertahta di negeri Dewani, wilayah jajahan Arab yang juga menguasai tanah Jawa. Sang Hyang Nur Cahya adalah putra Sang Hyang Sita atau Kanjeng Nabi Sis ( Hadi Soetrisno, 1941 : 6 ). Disamping aksara Jawa, Sang Hyang Nur Cahya juga menciptakan aksara Latin, Arab, Cina dan aksara-aksara yang lain. Seluruh aksara itu disebut Sastra Hendra Prawata ( Hadi Soetrisno, 1941 : 3 – 6 )
Di kemukakan pula bahwa berdasarkan bentuknya, aksara Jawa merupakan tiruan dari aksara Arab, mula-mula aksara itu berupa goresan-goresan yang mendekati bentuk persegi atau lonjong, lalu makin lama makin berkembang hingga terbentuklah aksara yang ada sekarang ( Hadi Soetrisno 1941 : 10 ). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Aji Saka yang dianggap sebagai pencipta aksara Jawa itu sebenarnya bukan penciptanya, melainkan sebagai pembangun dan penyempurna aksara tersebut sehingga terciptalah bentuk aksara dan susunan atau carakan ( ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya ) seperti sekarang ini ( Hadi Soetrisno, 1941 : 7 ). Terciptanya bentuk aksara dan carakan itu melibatkan kedua abdinya, Dora dan Sembada yang menemui ajalnya secara tragis.
Selian yang telah diuraikan di atas, ada dugaan bahwa kisah tragis Dora dan Sembada dalam legenda Aji Saka merupakan simbol perang saudara untuk memperebutkan tahta Majapahit. Perebutan ia mengakibatkan hancurnya kedua belah pihak, menjadi bangkai dengan ungkapan ma-ga-ba-tha-nga. Tentu saja kisah simbolik yang melahirkan aksara ha-na-ca-ra-ka itu muncul setelah hancurnya kerajaan Majapahit, antara abad XVI dan XVII ( Atmodjo, 1994 : 26 )
Dugaan lain adalah bahwa peristiwa tragis yang menimpa Dora dan Sembada merupakan simbol gerakan milenarianisme, yakni gerakan yang mengharapkan datangnya pembebasan atau ratu adil, dengan ungkapan ha-na-ca-ra-ka ( Atmojo, 1994 : 26 ). Namun kapan datangnya pembebasan dan siapa yang dimaksud dengan ratu adil, apakah Raden Patah yang berhasil naik tahta setelah Majapahit runtuh atau Sutawijaya yang mampu menyelamatkan negeri ( Pajang ) dari rongrongan Arya Penangsang ataukah tokoh lain, masih merupakan tanda tanya yang sulit untuk memperoleh jawaban secara ilmiah atau nalar.
Praduga-praduga di atas mencerminkan keragaman pendapat, keragaman itu sulit dapat timbul dari persepsi yang berbeda-beda sehingga sulit untuk menentukan persamaan waktu atas kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Kesulitan itu dapat disebabkan oleh sifat legenda yang fiktif sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan antara sumber yang satu dan sumber yang lain, sesuai dengan kehendak pengarang atau penulis masing-masing. Perbedaan praduga pertama ( Daldjoeni ) dengan praduga kedua ( dalam Serat Momana ) dan praduga ketiga ( dalam The History of Java ) misalnya terletakpada selisih waktu dua abad, sedangkan praduga kedua dengan praduga ketiga hanya mempunyai selisih satu tahun. Perbedaaan ketiga praduga tersebut akan lebih beragam jika menyertakan perkiraan hidup Aji Saka dalam Manikmaya, pendapat Warsito dan Hadi Soetrisno serta kisah-kisah simbolik di atas. Selain itu masih terbuka kemungkinan yang dapat menimbulkan perbedaan yang berasal dari teks-teks lain yang belum sempat diungkapkan di sini, termasuk misteri pencipta aksara tersebut.
Konsepsi secara Ilmiah
Kelahiran pada perkembangan aksara Jawa erat hubungannya dengan kelahiran dan perkembangan bahasa Jawa. Secara alami, mula-mula bahasa Jawa lahir sebagai alat komunikasi lisan pemakainya. Bahasa Jawa yang dilisankan itu, seperti bahasa ragam lisan pada umumnya, terikat oleh waktu dan tempat ( lihat Molen, 1985 : 3 ) untuk melepaskan diri dari keterikatannya, sesuai dengan pola pikir pemakainya dan sejalan dengan tantangan zaman akibat pengaruh lingkungan serta perkembangan ilmu dan teknologi, sarana yang nyata dan kekal, berupa aksara diciptakan. Aksara yang dipakai etnik Jawa muncul pertama kali setelah orang-orang India datang ke pulau Jawa. Diperkirakan bahwa sebelum itu etnik Jawa belum mempunyai aksara ( Poerbatjaraka, 1952 : vii ) sehingga masih berlaku tradisi kelisanan. Dengan munculnya aksara, mulailah tradisi keberaksaraan untuk menciptakan bahasa ragam tulis, meskipun tradisi kelisanan tetap berlangsung.
Hasil teknologi baru yang berupa tulisan memang memainkan peranan yangamat penting dalam sejarah manusia, dalam kehidupan sehari-hari di bidang ilmu pengetahuan, politik dan sebagainya. Ada perbedaan mendasar antara peradaban yang tanpa tulisan dan peradaban yang mempunyai tulisan ( Molen, 1985 : 3 ) peradaban yang mempunyai tulisan setidaknya mempunyai kelebihan setingkat lebih maju daridapa peradaban tanpa tulisan.
Dalam sejarah peradaban etnik Jawa, atas dasar data arkeologis, tulisan tertua yang ditemukan dalam bentuk prasasti dengan menggunakan aksara Pallawa menunjukkan penanda waktu sebelum tahun 700 Masehi ( Casparis, 1975 : 29 ) jauh sesudah bahasa Jawa yang tertua dugunakan secara lisan. Setelah ditemukan beberapa prasasti yang lain, secara berangsur-angsur dilakukan studi paleografi. Dari beberapa prasasti yang dijadikan bahan studi, diperoleh hasil deskripsi yang menggembirakan ( lihat Molen 1985 : 4 ). Namun hingga kini masih sedikit jumlah karya tulis yang membicarakan paleografi Jawa. Karya tulis tentang paleografi Jawa baru dimulai pada awal abad XIX, seperti yang dilakukan oleh Raffles ( 1871 ) Stuart ( 1863 ) dan Keyzer ( 1863 ). Hanya sayang bahwa contoh aksara yang ditampilkan menurut Stuart ( 1864 : 169 – 173 ) lihat Molen, 1985 : 4 ) bukan jiplakan yang asli, melainkan aksara Jawa baru yang dituliskan dengan bentuk dan gaya aksara Jawa kuna, contohnya : dibawah ini dikutipkan dari The History of Java Jilid I, karya Raffles ( 1982 : 370 )
Ada juga Ajaran filsafat hidup berdasarkan aksara Jawa yang sebagai berikut :
Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada ” utusan ” yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai ciptaan )
Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data ” saatnya ( dipanggil ) ” tidak boleh sawala ” mengelak ” manusia ( dengan segala atributnya ) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan
Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi hidup ( makhluk ). Maksdunya padha ” sama ” atau sesuai, jumbuh, cocok ” tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu ” menang, unggul ” sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan ” sekedar menang ” atau menang tidak sportif.
Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.
Jakarta, Senin Pahing, 15 Desember 2008
pukul ; 09.45 – by Satmata
http://ariezelclassico.blogspot.co.id/2012/10/sejarah-huruf-jawa-hanacaraka.html
Sejarah Aksara Jawa Dari Tinjauan Historis
Sejarah Aksara Jawa Legenda Hanacaraka Aksara Jawa Hanacaraka itu berasal dari aksara Brahmi yang asalnya dari Hindhustan. Di negeri Hindhustan tersebut terdapat bermacam-macam aksara, salah satunya yaitu aksara Pallawa yang berasal dari Indhia bagian selatan.Dinamakan aksara Pallawa karena berasal dari salah satu kerajaan yang ada di sana yaitu Kerajaan Pallawa. Aksara Pallawa itu digunakan sekitar pada abad ke-4 Masehi. Di Nusantara terdapat bukti sejarah berupa prasasti Yupa di Kutai, Kalimantan Timur, ditulis dengan menggunakan aksara Pallawa. Aksara Pallawa ini menjadi ibu dari semua aksara yang ada di Nusantara, antara lain: aksara hanacaraka , aksara Rencong (aksara Kaganga), Surat Batak, Aksara Makassar dan Aksara Baybayin (aksara di Filipina)[1].
Profesor J.G. de Casparis dari Belanda, yaitu pakar paleografi atau ahli ilmu sejarah aksara, mengutarakan bahwa aksara hanacaraka itu dibagi menjadi lima masa utama, yaitu:
- Aksara Pallawa Aksara Pallawa itu berasal dari India Selatan. Jenis aksara ini mulai digunakan sekitar abad ke 4 dan abad ke 5 masehi. Salah satu bukti penggunaan jenis aksara ini di Nusantara adalah ditemukannya prasasti Yupa di Kutai, Kalimantan Timur. Aksara ini juga digunakan di Pulau Jawa, yaitu di Tatar Sundha di Prasasti tarumanegara yang ditulis sekitar pada tahun 450 M. di tanah Jawa sendiri, aksara ini digunakan pada Prasasti Tuk Mas dan Prasasti Canggal. Aksara Pallawa ini menjadi ibu dari semua aksara yang ada di Nusantara, termasuk aksara hanacaraka. Kalau diperhatikan, aksara Pallawa ini bentuknya segi empat. Dalam bahasa Inggris, perkara ini disebut sebagai huruf box head atau square head-mark. Walaupun aksara Pallawa ini sudah digunakan sejak abad ke-4, namun bahasa Nusantara asli belum ada yang ditulis dalam aksara ini.
- Aksara Kawi Wiwitan Perbedaan antara aksara Kawi Wiwitan dengan aksara Pallawa itu terutama terdapat pada gayanya. Aksara Pallawa itu dikenal sebagai salah satu aksara monumental, yaitu aksara yang digunakan untuk menulis pada batu prasasti. Aksara Kawi Wiwitan utamanya digunakan untuk nulis pada lontar, oleh karena itu bentuknya menjadi lebih kursif. Aksara ini digunakan antara tahun 750 M sampai 925 M. Prasasti-prasasti yang ditulis dengan menggunakan aksara ini jumlahnya sangatlah banyak, kurang lebih 1/3 dari semua prasasti yang ditemukan di Pulau jawa. Misalnya pada Prasasti Plumpang (di daerah Salatiga) yang kurang lebih ditulis pada tahun 750 M. Prasasti ini masih ditulis dengan bahasa Sansekerta.
- Aksara Kawi Pungkasan Kira-kira setelah tahun 925, pusat kekuasaan di pulau Jawa berada di daerah jawa timur. Pengalihan kekuasaan ini juga berpengaruh pada jenis aksara yang digunakan. Masa penggunaan aksara Kawi Pungkasan ini kira-kira mulai tahun 925 M sampai 1250 M. Sebenarnya aksara Kawi Pungkasan ini tidak terlalu banyak perbedaannya dengan aksara Kawi Wiwitan, namun gayanya saja yang menjadi agak beda. Di sisi lain, gaya aksara yang digunakan di Jawa Timur sebelum tahun 925 M juga sudah berbeda dengan gaya aksara yang digunakan di Jawa tengah. Jadi perbedaan ini tidak hanya perbedaan dalam waktu saja, namun juga pada perbedaan tempatnya. Pada masa itu bisa dibedakan empat gaya aksara yang berbeda-beda, yaitu; 1) Aksara Kawi Jawa Wetanan pada tahun 910-950 M; 2) Aksara Kawi Jawa Wetanan pada jaman Prabu Airlangga pada tahun 1019-1042 M; 3) Aksara Kawi Jawa Wetanan Kedhiri kurang lebih pada tahun 1100-1200 M; 4) Aksara Tegak (quadrate script) masih berada di masa kerajaan Kedhiri pada tahun 1050-1220 M
- Aksara Majapahit Dalam sejarah Nusantara pada masa antara tahun 1250-1450 M, ditandai dengan dominasi Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Aksara Majapahit ini juga menunjukkan adanya pengaruh dari gaya penulisan di rontal dan bentuknya sudah lebih indah dengan gaya semi kaligrafis. Contoh utama gaya penulisan ini adalah terdapat pada Prasasti Singhasari yang diperkirakan pada tahun 1351 M. gaya penulisan aksara gaya Majapahit ini sudah mendekati gaya modern.
- Aksara Pasca Majapahit Setelah naman Majapahit yang menurut sejarah kira-kira mulai tahun 1479 sampai akhir abad 16 atau awal abad 17 M, merupakan masa kelam sejarah aksara Jawa. Karena setelah itu sampai awal abad ke-17 M, hampir tidak ditemukan bukti penulisan penggunaan aksara jawa, tiba-tiba bentuk aksara Jawa menjadi bentuk yang modern. Walaupun demikian, juga ditemukan prasasti yang dianggap menjadi missing link antara aksara Hanacaraka dari jaman Jawa kuna dan aksara Budha yang sampai sekarang masih digunakan di tanah Jawa, terutama di sekitar Gunung Merapi dan Gunung Merbabu sampai abad ke-18. Prasasti ini dinamakan dengan Prasasti Ngadoman yang ditemukan di daerah Salatiga. Namun, contoh aksara Budha yang paling tua digunakan berasal dari Jawa barat dan ditemukan dalam naskah-naskah yang menceritakan Kakawin Arjunawiwaha dan Kunjarakarna.
- Munculnya Aksara Hanacaraka Baru Setelah jaman Majapahit, muncul jaman Islam dan juga Jaman Kolonialisme Barat di tanah Jawa. Dijaman ini muncul naskah-naskah manuskrip yang pertama yang sudah menggunakan aksara Hanacaraka baru. Naskah-naskah ini tidak hanya ditulis di daun palem (lontar atau nipah) lagi, namun juga di kertas dan berwujud buku atau codex (kondheks). Naskah-naskah ini ditemukan di daerah pesisir utara Jawa dan dibawa ke Eropa pada abad ke 16 atau 17. Bentuk dari aksara Hanacaraka baru ini sudah berbeda dengan aksara sebelumnya seperti aksara Majapahit. Perbedaan utama itu dinamakan serif tambahan di aksara Hanacaraka batu. Aksara-aksara Hanacaraka awal ini bentuknya mirip semua mulai dari Banten sebelah barat sampai Bali. Namun, akhirnya beberapa daerah tidak menggunakan aksara hanacaraka dan pindhah menggunakan pegon dan aksara hanacaraka gaya Durakarta yang menjadi baku. Namun dari semua aksara itu, aksara Bali yang bentuknya tetap sama sampai abad ke-20.
Lalu aksara Kawi Wiwitan digunakan dari abad ke-8 samapai abad ke-10, terutama di Jawa Tengah
Dina Jawa
Othak-athik gathuk
Wa dari temen, diambil baiknya saja, bukan utk diperdebatkan
JARENE WONG JOWO, DINO IKU ONO PITU Maksudte PITU ugo bisa kanggo PITUTUR, PITUDUH, PITULUNGAN, PITUNGKAS, monggo sareng2 disimak nggih?
1. SENEN: tegese ojo boSEN marang uNEN² (unen² Wong Jowo seng kang bisa kanggo tuntunan marang kauripan)
2. SELOSO: SElakno NGAMAL MARANG SOPO² (wong ngamal iku ora pilih², ora pandang wonge sopo)
3. REBO: KEREPO SINAU BEN ORA BODHO (mumpung isih urip ditlateni anggone luru ilmu, mergo ngaji iku penting, ojo sing penting ngaji)
4. KEMIS: LUWIH BECIK MINGKEM TINIMBANG LAMIS (ojo podho ngumbar omongan kelawan wong liyo. Luwih² ngrasani tonggo)
5 JUMAT: JUMBUHNO LELAKON KARO KEKAREPAN/NIAT (yen nduwe niat/cita² kudu usaha ikhtiar dungo supoyo kekarepanne biso kaleksanan)
6. SABTU: INSAP -PO MARANG BARANG SING WES KEWETU (sak bejo bejane wong ngedan, isih luwih bejo wong kang eling kelawan waspodho)
7. MINGGU: MINGGIRO BARANG SENG OLO, LAKONONO BARANG SING RAHAYU (sing apik ayo podho dilakoni)
Mugi manfa'at kagem ngimutaken kabecik'an namung mboten wonten dalile nggeh
Wa dari temen, diambil baiknya saja, bukan utk diperdebatkan
JARENE WONG JOWO, DINO IKU ONO PITU Maksudte PITU ugo bisa kanggo PITUTUR, PITUDUH, PITULUNGAN, PITUNGKAS, monggo sareng2 disimak nggih?
Shalat Tahajud
Shalat tahajud adalah shalat sunnah yang dilakukan pertengahan malam terakhir.Sebuah amalan penting untuk:
- sebagai ibadah tambahan
- mengangkat derajat ke tempat terpuji
- memohon ampunan
- meniru para shalihin
- mendapat Rahmat dari Allah
... sholat tahajud adalah salah satu sholat malam yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Sholat sunnah ini dikerjakan dalam kurun waktu sejak setelah shalat isya hingga masuk waktu shubuh.
Shalat Tahajud dalam Al Quran
Mengenai sholat tahajud, Allah berfirman:Perhatikan janji Allah untuk tambahan ibadah yang dilakukan hanya pada sebagian malam.
وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدَبِهِ نَا فِلَةً لَكَ عَسَى اَنْ يَبْعَسَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُوْدًا.
Artinya : “Dan pada sebagian malam, maka kerjakanlah shalat tahajud sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah- mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji” (QS. Al Isra 79)
Dalam ayat yang lain, Allah SWT juga berfirman:Dan saat menjelang fajar dijadikan tempat memohon ampunan
كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ () وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
Artinya:
17. di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. 18. dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar. (QS. Az-Zariya: 17-18.)
Hadist Rasulullah
Rasulullah SAW bersabda:...karena shalat malam adal kebiasaan orang shalih untuk lebih dekat kepada Rabb, penghapus kesalahan dan pencegah dosa
“Hendaklah kalian sholat malam, karena sholat malam adalah kebiasaan yang dikerjakan orang-orang sholeh sebelum kalian, ia adalah ibadah yang mendekatkan diri kepada Rabb kalian, penghapus berbagai kesalahan dan pencegah perbuatan dosa.” (HR. Tirmidzi)
Yang dimaksud dengan sholat malam antara lain sholat tahajud, shalat witir sholat tarawih.Shalat ini dimulai dari pertengan malam yang terakhir hingga waktu shalat subuh.
Dalam hadits yang lain, juga terdapat keterangan seperti ini:
Dari Amr bin Abasah r.a. berkata: Aku berkata, Wahai Rasulullah, (bagian) dari malam manakah yang paling didengar (oleh Allah)? beliau bersabda : “Pertengahan malam yang terakhir, maka sholatlah sesukamu, karena sholat tersebut disaksikan dan dicatat hingga kamu sholat subuh.” (HR. Abu Dawud)
Hadits ke-3 yang akan saya cantumkan berbunyi:Rasulullah mengingatkan para suami/istri untuk bangun dan shalat untuk menerima rahmat Allah.
“Allah merahmati seorang suami yang bangun dimalam hari lalu dia sholat dan membangunkan isterinya, jika sang istri enggan, ia percikkan air ke wajahnya dan Allah merahmati seorang istri yang bangun di malam hari lalu dia sholat dan membangunkan suaminya jika suaminya enggan, dia percikkan air pada wajahnya.” (HR. Abu Dawud)
Langganan:
Postingan (Atom)
Buku ini aku pinjam
Buku yang kita baca tidak sama, Lalu bagaimana bisa merasakan haru biru yang sama [1/8 17.10] Umi Sman Cepu: Njaluk dicritani leh [1/...
-
'Kecelik' , sebuah kata bahasa jawa yang sering diterjemahkan dengan kecewa. Gak pas-pas banget. Kecelik adalah sebuah ungkapan untu...
-
Ki Hajar Dewantara Tanggal 2 Mei, bagi bangsa Indonesia merupakan hari yang cukup penting. Tanggal ini diperingati sebagai Hari P...
-
Kedua, orang yang ingin kaya dengan enggan bersedekah. ’’Bayangane duwek akeh iku lek disimpen. Iku kecelik. Duwek akeh iku lek disedeka...